Aceh,- Sengketa wilayah kembali terjadi antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) terkait kepemilikan empat pulau yang terletak di perairan lepas pantai barat Sumatera. Meski saat ini berada di bawah kendali administratif Sumatera Utara, Aceh mengklaim kepemilikan historis pulau-pulau tersebut dan tengah mendorong peninjauan ulang statusnya.
Empat pulau yang menjadi pusat konflik adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (juga dikenal sebagai Mangkir Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil). Pemerintah Aceh mengklaim bahwa pulau-pulau ini secara historis merupakan wilayah mereka, tetapi sekarang secara resmi menjadi bagian dari Sumatera Utara berdasarkan keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Keputusan Kemendagri dan Kronologi Ketidaksetujuan
Akar konflik saat ini terletak pada proses verifikasi nasional nama pulau dan koordinat yang dilakukan oleh Tim Standardisasi Toponim Nasional.
Pada tahun 2008, tim tersebut telah melakukan verifikasi terhadap 260 pulau di Aceh, namun keempat pulau yang disengketakan tersebut tidak masuk dalam daftar. Selanjutnya, pada tahun 2009, dalam proses verifikasi di Sumatera Utara, keempat pulau tersebut telah terdaftar sebagai milik provinsi tersebut, sebagai bagian dari daftar 213 pulau.
“Pulau-pulau ini sudah terverifikasi sebagai bagian dari Sumatera Utara sejak tahun 2009, berdasarkan surat penegasan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu,” jelas Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu, 11 Juni 2025.
Menurut Safrizal, Pemerintah Aceh telah mengajukan usulan perubahan nama dan koordinat keempat pulau tersebut pada 4 November 2009. Namun, usulan tersebut diajukan setelah proses verifikasi nasional selesai dan tidak masuk dalam pemetaan nasional.
Aceh Tolak Putusan, Ajukan Upaya Hukum dan Bukti Sejarah
Pemerintah Aceh menolak keputusan tersebut dan menuntut peninjauan ulang status keempat pulau tersebut. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Aceh, Syakir, menegaskan bahwa proses perubahan status tersebut tidak sepenuhnya melibatkan Aceh dan terjadi sebelum masa jabatan gubernur saat ini.
“Kami terus memperjuangkan peninjauan ulang. Kami yakin bahwa keempat pulau ini merupakan bagian dari Aceh berdasarkan sejarah dan peta lama,” ungkapnya pada Senin, 26 Mei.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, telah menyampaikan sikap tegasnya terkait isu tersebut. Ia menegaskan bahwa Aceh memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim tersebut. “Ya, keempat pulau itu memang masuk wilayah kekuasaan Aceh. Kami memiliki alasan kuat, bukti kuat, dan data historis yang kuat untuk membuktikan bahwa keempat pulau itu milik Aceh,” kata Mualem di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025.
Mualem menegaskan bahwa berdasarkan letak geografis, batas wilayah, dan data iklim historis, keempat pulau tersebut sah menjadi milik Aceh. Ia mengklaim memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim tersebut.
Menanggapi hal itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyatakan kesediaannya untuk membahas masalah status keempat pulau tersebut. “Saya sudah sampaikan berulang-ulang, jangan sampai keluar jalur. Dalam pertemuan saya dengan Gubernur Aceh beberapa waktu lalu, saya sampaikan bahwa pembahasan kepemilikan yang berulang-ulang kemungkinan besar tidak akan ada penyelesaian,” kata Bobby Nasution di Kantor DPRD Sumut, Selasa, 12 Juni 2025.
Meski tetap bersikukuh bahwa pulau-pulau itu milik Sumatera Utara, Bobby juga mengusulkan kemungkinan pengelolaan bersama dengan Aceh jika hasil pembicaraan lebih lanjut menegaskan kembali kepemilikan Sumut. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan pengalihan kepemilikan pada akhirnya berada di tangan Kemendagri.
Mendagri Usulkan Pengelolaan Kolaboratif
Dalam upaya meredakan ketegangan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyarankan agar kepulauan tersebut dikelola secara kolaboratif oleh kedua provinsi.
“Kita harapkan kedua belah pihak bisa mencari solusi terbaik. Kalau bisa diselesaikan bersama-sama, kenapa tidak,” saran Tito di Istana Kepresidenan, Selasa, 10 Juni 2025.
Menurut Tito, keputusan memasukkan keempat pulau itu ke dalam wilayah Sumatera Utara didasarkan pada kesepakatan batas darat yang telah ditandatangani oleh empat pemerintah daerah terkait, termasuk Aceh sendiri.
“Secara geografis berada di Sumatera Utara jika dilihat dari batas-batas darat yang telah disepakati,” pungkasnya.
Sengketa yang sedang berlangsung ini menyoroti kompleksitas administrasi teritorial dan klaim historis di Indonesia. Apakah provinsi-provinsi tersebut dapat mencapai solusi yang disetujui bersama, baik itu pengelolaan bersama atau evaluasi ulang kepemilikan berdasarkan bukti historis, masih harus dilihat. Situasi ini menggarisbawahi perlunya konsultasi menyeluruh dan inklusif saat menentukan batas-batas wilayah.
Penulis: Iwan Ajteh